ASSALAMU ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH

Selasa, 10 April 2018

MA dan PILKADA

Berkas:Logo Mahkamah Agung RI.pngGorontalo - Perselisihan Pilkada saat ini banyak yang berakhir di MA, Pelibatan MA dalam soal ini mengagumkan karena satu sebab. Sebabnya adalah cara ini menandai tidak hanya gerak naik kesadaran akan demokrasi yang terkonsolidasi yang pakem epistemologinya menjadikan hukum sebagai tuntunannya.
Demokrasi jenis ini acapkali disifatkan sebagai negara demokrasi konstitusional, yang sejarahnya tumbuh dan mekar berkat serangkaian impian. Impiannya adalah agar orang-orang kuat, yang dalam sejarah abad kuno dan pertengahan berada di pusaran kekuasaan, yang cerdas dan cekatan mengendalikan kehidupan masyarakat, membolak-balik hukum sesuka mereka, terbatasi gerak-gerik kotornya. 
Sedangan tujuannya sederhana pengadilan dapat bekerja secara mandiri. Kemandirian diyakini sebagai benteng terbesar, senjata terkuat dalam menantang intervensi kekuatan-kekuatan kotor yang selalu berhasrat menggunakan hukum untuk menyapu, merobek-robek keadilan, dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Itulah secuil alasan di balik impian menjadikan pengadilan sebagai benteng, tidak hanya keadilan, tetapi juga kemanusiaan. Seindah itulah kerinduan negara hukum demokratis tentang pengadilan. Itu sebabnya negara-negara hukum demokratis, termasuk dan tidak terbatas pada Indonesia, mengandalkan pengadilan dalam menyelesaikan berbagai soal. Di titik inilah letak rasionalitas pelibatan MA dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. 
Tetapi, kala hukum telah mendefinisikan sendiri apa yang menjadi wewenang pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus, maka pengadilan tak punya pilihan lain selain menenggelamkan diri ke dalam teks itu. Melompat keluar teks dengan argumen berhukum secara progresif, sama nilainya dengan menihilkan kepastian hukum, sembari mempromosi kekacauan hukum. Di atas langit, kata para bijak, ada langit, langit yang lebih tinggi. Kekeliruan kecil. 
Di langit MA inilah bergantung semua mimpi, tidak saja keadilan bagi setiap orang, tetapi juga tertib hukum Indonesia menuju keelokan hidup masyarakat beradab. Jalan ini tak mudah karena harus memadu teks dan maksud teks dalam perspektif textualism dan intentionalism , tetapi bukan yang tersulit. 
Tak ada fungsionaris yang terkapar di jalan sulit ini. Yang tersulit adalah berkelit, berpaling dari tekanan teman, apalagi teman berstatus penguasa ekonomi dan politik, godaan dan iming-iming petualang. Namun, sesulit apa pun hal yang disebut terakhir ini akan terasa mudah, ringan bagi fungsionaris yang hati dan otaknya mengenal indahnya kemuliaan diri. 

Referensi@Margarito Kamis 
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar